Suatu hari, Sayyidina Umar RA. Sedang thawaf disamping ka’bah. Tiba-tiba terdengar oleh beliau seseorang berseru: “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Beliau termenung mendengar do’a yang beliau anggap aneh itu. Apa gerangan maksud do’a orang itu? Siapa golongan yang sedikit itu? Semua itu menjadi pertanyaan dalam fikiran beliau, yang tak kunjung ketemu jawabnya.
TERDORONG oleh rasa penasaran dan keingin tahuan beliau akan maksud kata-kata itu, beliau terpaksa menghentikan langkah dan berbalik ketempat orang yang berdo’a tadi, dan bertanya: “Maaf saudara, saya tadi mendengar do’a saudara agak aneh, tidak seperti biasanya bila orang-orang berdo’a. Lalu apa maksud saudara itu?” “Begini” Jawab orang tersebut, bukankah telah tersebut dalam Al-Qur’an bahwa hanya sedikit saja hamba-hambaku yang mau bersyukur? Jadi saya mohon kepada Allah, agar saya dimasukkan golongan hamba-hamba-Nya yang sedikit itu”. Mendengar jawaban orang tadi, Sayyidina Umar RA. baru paham maksudnya, dan beliau langsung berkata yang menunjukkan pengakuan atas kebodohan atas dirinya. Kata beliau: “Pergilah kamu, memang setiap orang rupanya lebih tahu daripada Umar!”
Sekelumit cerita diatas menunjukkan bahwa memang benar manusia itu banyak yang kurang pandai mensyukuri nikmat. Seperti kita sendiri, sering lebih terfokus perhatian kita kepada sesuatu yang ada ditangan orang lain. padahal apa yang ada pada diri kita, milik kita, keluarga kita, sering lebih baik dari apa yang dimiliki saudara kita itu.
Saya sering mengajak istri saya kekota, atau ke tempat saudara atau sanak kerabat yang jauh. Dalam perjalanan, istri saya itu sering bertanya kepada saya, yang sebenarnya bahasa sindiran bahwa dia menginginkan barang seperti itu. Dan itulah perempuan (kama qol) kalau minta sesuatu pakai bahasa bertanya, gaya bertanya. “Mas, bagus ya mobil itu?” Artinya dia minta dibelikan mobil seperti itu! “Mas apa kita nggak sarapan dulu?” berarti dia ingin sarapan! “Mas bagus ya baju itu?” Berarti dia ingin dibelikan baju! Dan sebagainya. Saya kira semua wanita juga seperti itu? Nggak tahulah, mudah-mudahan hanya istri saya saja. Ini bahasa halus daripada saya didemo ibu-ibu bahwa mereka tidak seperti yang saya gambarkan. “Amrih slamete” kata orang Jawa. Biasanya saya langsung mengingatkan istri saya itu: “He bu, lihat yang dibawah jangan lihat yang diatas terus. Syukurlah kita sudah punya mobil, walaupun mobil tua. Toh banyak teman-teman dan saudara kita yang masih naik sepeda ontel?. “Maksud saya sesuai dengan anjuran Nabi SAW, dalam sebuah haditsnya, agar kita senantiasa mensyukuri nikmat Allah betapapun kecilnya. Mendengar teguran saya seperti itu, biasanya istri saya langsung diam sambil agak “monyong”. Mungkin, dalam hatinya berkata: “Itukan alasan orang nggak punya uang, pakai senjata hadits nabi segala!”
Terlepas dari kasus-kasus diatas, memang banyak sekali nikmat yang mesti kita syukuri. Mulai dari keamanan, kenyamanan, kesehatan akal, kesehatan badan, rumah tangga, anak istri, sampai-sampai Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang maksudnya: “Jika kamu hendak menghitung-hitung nikmat Allah, kamu tidak akan mampu menghitungnya (saking banyaknya)”. Maka Nabi SAW anjurkan kepada kita agar membaca “Alhamdulillah” sebanyak 33 kali (minimal) setelah habis shalat. Ambil satu contoh, nikmat sehat. Kita baru tahu harga sebuah kesehatan, kalau kita sendiri sakit, atau melihat orang yang sakit.
SYUKUR DAN KUFUR
Apabila kita memberi baju atau sarung kepada seseorang, kemudian baju itu dipakai olehnya untuk berbagai kesempatan, seperti walimah, ke masjid,dan berbagai acara terhormat, dan kita melihat hal itu, tentunya kita akan merasa senang hati, bahwa pemberian kita itu dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Namun sebaliknya, bila pemberian kita tidak pernah dipakai, tahunya malah dipakai lap mobil atau motor, alangkah kecewa hati kita. Dalam hati kita ada penyesalan, mengapa saya berikan kepada orang yang kurang pas,dan sebagainya.
Contoh yang pertama itu adalah gambaran orang yang syukur nikmat. Sebab, barang apapun yang sampai ditangan kita, sebenarnya adalah pemberian Allah jua. Tapi dengan lantaran manusia, apakah itu melalui teman kita, atau saudara, atau tamu, atau kenalan, atau siapa saja yang Tuhan kehendaki. Maka disamping kita ucapkan terima kasih kepada orang yang memberi, kita juga harus bersyukur kepada Allah, yang telah menggerakkan hati dan tangan orang itu untuk memberi kita. Namun bila sikap kita seperti contoh yang kedua, kita bersikap acuh, tidak menempatkan sesuatu pada yang sebenarnya, maka itu bisa dinamakan kufur nikmat.
Itu tadi baru contoh kecil yang terjadi dalam hubungan antar manusia. Meski begitu, kita juga bisa membayangkan betapa murka Allah, bila kita kufur nikmat. Sering kita dengar dalam berbagai acara, firman Allah yang dibaca, sehubungan dengan ancaman Tuhan terhadap orang yang kufur nikmat itu, Firman Tuhan: “Apabila kalian bersyukur, maka benar-benar akan Aku tambah (nikmat-Ku) kepada kalian, tapi bila kalian kufur (nikmat), maka (ingatlah) sesungguhnya siksaan-Ku amat pedih.”
Betapa banyak dalam realita kehidupan zaman ini, orang-orang yang kurang pandai bersyukur atau bahkan kufur nikmat. Diberi kekayaan, uang, tapi malah dipakai untuk berjudi, minum-minum, narkoba, dan berbagai kegiatan maksiat. Pemuda-pemuda yang mestinya memanfaatkan umur untuk bekal hari tua, malah dipakai hura-hura, berbuat onar, mabuk-mabukan, kebut-kebutan yang justru menggangu kententraman umum. Mendapat kedudukan, pangkat, justru malah dipakai untuk memperkaya diri dengan korupsi, manipulasi, arogansi, dan sebagainya.
PENOLONG DAN PENODONG
Dalam lagu “Indonesia Raya” ada kata-kata: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.” Dari sini jelas tersirat bahwa pembangunan, pembentukan mental, pendidikan moral lebih diutamakan daripada pendidikan akal. Satu contoh bila seseorang kuliah jurusan hukum, maka bila lulus, dia akan menjadi hakim. Setelah menjadi hakim, kembali kepada jiwa dia. Kalau dia berjiwa penolong, maka dia akan menerapkan ilmunya sebagai penegak hukum, penegak keadilan, membela yang lemah, mengadili dengan bijaksana dst. Dia tidak akan berfikir saya dapat apa dari kasus ini, bagian saya berapa kalau dia menang, orang kayakah dia, atau miskin? Tapi yang dia fikirkan adalah bagaimana menegakkan keadilan, memutuskan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Ini bisa dikategorikan syukur nikmat, meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Tapi sebaliknya kalau dia berjiwa penodong, maka yang menjadi pikirannya adalah bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dari kasus yang dia tangani! Dia bisa membolak-balik kata,membenarkan yang salah, atau menyalahkan yang benar, asal dapat tercapai cita-citanya. Yang begini ini termasuk kufur nikmat, karena tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maka semua urusan itu berpulang pada jiwa si pelaku. “Penolong apa penodong.”
Ini bisa berlaku pada siapa saja. Dokter misalnya, kalau dia berjiwa penolong, dia akan berusaha sekuat tenaga, bagaimana bisa menolong si sakit agar segera sembuh dari penyakitnya. Tapi kalau dia berjiwa penodong, resep 1000 bisa jadi 10.000, sepuluh ribu bisa dibilang seratus ribu, seratus bisa jadi sejuta dst. Sebab tidak ada orang sakit yang menawar atau membantah dokter. Berapapun akan dibayar tanpa bertanya.
Demikian juga dengan profesi-profesi yang lain, semua akan terpulang pada jiwa, moral personil masing-masing. Disinilah letak barometer keimanan setiap individu diuji, apalagi pada “zaman edan” seperti sekarang ini.
FILSAFAT “UNTUNG”
Sewaktu terjadi kecelakaan pesawat Hercules beberapa waktu yang lalu, saya menelpo seorang sahabat di Surabaya. “Mas, saya ngeri melihat kecelakaan Hercules di Maospati yang ditayangkan di TV.” Dia menjawab, “Wah iya pak, untung-untung anak saya yang tugas di Halim Jakarta tidak jadi ikut pesawat itu. padahal rencananya mau ikut!” Saya jawab:” Mas, bilang Alhamdulillah, syukur kepada Allah, anak saya kok tidak jadi ikut pesawat itu!” “Oh ya,saya keliru, terima kasih ya!” katanya.
Sudah menjadi bahasa umum kata-kata “UNTUNG” menjadi ganti dari kata syukur “Alhamdulillah.” Padahal ini sudah kaprah sekali dimasyarakat kita, khususnya masyarakat Jawa. Bahkan suatu saat bisa jadi musyrik. Misalnya orang berkata setelah menolong anak mau tenggelam. Dia bilang: “Untung ada saya, kalau tidak sudah mati dia!” apakah dia bisa menentukan hidup mati seseorang. Kalau demikian, dimana letak Tuhan?
Maka mestinya dia berkata: “Alhamdulillah Tuhan masih menolong dia dengan kehadiran saya ditempat ini pada waktunya.” Sering kali kita dengar dalam suatu kecelakaan, misalnya kakinya terkilir, maka orang akan berkata, untung nggak patah. Kalau patah kakinya orang akan bilang, untung dengkulnya nggak lepas. Kalau giginya yang patah, untung nggak pecah kepalanya dst.
Sebenarnya perkataan “UNTUNG” itu merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Namun saya kira perlu diluruskan atau lebih cepat “disempurnakan” dengan ucapan “Alhamdulillah”. Sebab kata untung itu, seolah-olah segala kejadian itu lepas dari “control” Tuhan, dan hanya bersifat “kebetulan”. Padahal semua yang terjadi didunia ini tidak ada yang diluar kodrat dan irodat-Nya. Maka lebih baik kita kembali kepada yang lebih “aslah”, daripada kebablasan memakai istilah yang bisa menjerumuskan kita ke jalan yang tidak diridloi Tuhan.